Walisongo
Walisongo atau Walisanga
dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke
14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Ada beberapa
pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan,
yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana
yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.
Pendapat lain
yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan
Gresik (Maulana Malik
Ibrahim) pada tahun
1404 Masehi (808 Hijriah).Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada
masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban
baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Nama para Walisongo
Dari nama para
Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai
anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
|
|
|
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Makam Maulana
Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur
Maulana Malik
Ibrahim adalah
keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut
juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo .
Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut
catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya
kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari
beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik
Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin
As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik
Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin
As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far
Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam
Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi
Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan
lahir di Samarkand di Asia
Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah
Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan
lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana
Malik Ibrahim
Maulana Malik
Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam
Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama:
Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir,
memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan
Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu:
Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim
dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan
melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan
Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid
Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik
Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa.
Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan
Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama
di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di
desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel
bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut
riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama
Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab
lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah
bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin
Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq
bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya
dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di
Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang
bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah
juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan
Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan
Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti
Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning,
berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden
Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2.
Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang
adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah
putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya
Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk
Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil
dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering
dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya
sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang.
Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja
mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia
dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.
Sunan Drajat
Sunan Drajat
adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. saudara dari
sunan derajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama
sunan derajat.sunan derajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. dialah
wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra
Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri
sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapatPangkur disebutkan sebagai
ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan
Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus
adalah putra Sunan Ngudung atau Raden
Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom
Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus
adalah keturunan ke-24 dari Nabi
Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah
bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin
Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad
Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus
memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai
panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan
negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di
antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa
Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya
yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran
Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri
Sunan Giri
adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri
adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan
murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan
pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di
wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu
keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama
Islam ke wilayah Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Lukisan Sunan
Kalijaga
Sunan Kalijaga
adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur
atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk
Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil
karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi
Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga
Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria
atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan
Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan
Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah
adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Gapura Makam
Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat
Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali
Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih
keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai
Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga
Maharaja. Sunan Gunung
Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang
sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan
Cirebon. Anaknya yang
bernama Maulana
Hasanuddin, juga berhasil
mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil
Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar bin Ahmad
Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin
Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin
Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil
Qubro adalah putra
Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung Bulan (Putri
Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya
terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo
(dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul
merupakan kuburnya.
Asal usul Walisongo
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih
ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah),
Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih
merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka
yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang
diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan,
mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
- L.W.C van
den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada
1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans
l'archipel Indien (1886) mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran
agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan
perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan
lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut
(yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
- van den
Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah
terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan
Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan
sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan
Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian
besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt
(Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh
peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik
menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran
sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari
abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga
Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan
banyak marga Hadramaut lainnya.
- Hingga
saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama
seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar),
Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan
seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang
sebagian besar bermadzhab Hanafi.
- Kesamaan
dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul
Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba&Barzanji, beragam Shalawat
Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat
di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia
dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di
Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan
pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu
Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang
menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
- Di abad
ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama
menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar
yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di
Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau
Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar
ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga
pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak
menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar,
Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang
kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan
menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi
keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.
Referensi-referensi
yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa
sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana,
yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian
merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta
kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang
banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van
Bruinessen, bahkan tak
pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat
detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu
ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese
Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh
Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya
dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan
Parlindungan.
Syekh Siti Jenar
Syekh Siti
Jenar (juga dikenal
dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah
Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agamaIslam di Pulau
Jawa. Tidak ada
yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat, terdapat banyak
variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal,
yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang lain
menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang telah
memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya
sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi
pekerti.
Syekh Siti
Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan
ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti
Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan
oleh Walisongo.
Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh
Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat
berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia
di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum
sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan
abadi olehnya.
Sebagai
konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat dikenai hukum yang
bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi tidak termasuk hukum
syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran
Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun
Islam yang lima,
yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji. Baginya, syariah baru akan berlaku
setelah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga
berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam
budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu,
mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal
sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul
yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Dimana
seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat
tahap, yaitu:
- Syariat, dengan
menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
- Tarekat, dengan
melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu,
- Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan
kesejatian hidup akan ditemukan, dan
- Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan
makna seluas-luasnya.
Bukan berarti
bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka tahapan di bawahnya
ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada
masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti
Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti
Jenar. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa
itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan
syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat,
bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh
Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan label sesat.
Dalam pupuhnya,
Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus memperdebatkan masalah agama.
Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang
Maha Kuasa, hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang
berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena
itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat
pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar.
Syekh Siti
Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas
dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya
ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut
dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula
Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa
Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada
Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya
pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia
terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai
dengan ayat Al-Quran yang
menerangkan tentang penciptaan manusia:
“
|
Ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka
apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S.
Shaad: 71-72
|
”
|
Dengan demikian
ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan
terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah
yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan,
yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.
Pengertian Zadhab
Dalam kondisi
manusia modern seperti saat ini, sering ditemui manusia yang mengalami zadhab
atau kegilaan berlebihan terhadap Allah. Mereka belajar tentang bagaimana Allah
bekerja sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka
yang ada dalam pikirannya hanyalah Allah. Di sekelilingnya tidak tampak manusia
lain, kecuali hanya Allah yang berkehendak.
Setiap Kejadian
adalah maksud Allah terhadap Hamba ini. Dan inilah yang dibahayakan karena
apabila tidak ada Guru yang Mursyid yang berpedoman pada Al Quran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua
aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Karena hamba ini akan gampang
terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi
juga Syaitan menjerumuskannya.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini
berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam,
yaitu rahmatan lil 'alamin. Seseorang dianggap muslim salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi
lingkungannya, bukannya menciptakan kerusakan di muka bumi.
Kontroversi
Kontroversi
yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya
yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi
kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada
pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki
Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden
Patah, dan
mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama
Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan Demak khawatir ajaran ini
akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat.
Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti
Jenar untuk segera datang menghadap ke Kesultanan Demak.
Pengiriman
utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tidak
cukup untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk datang menghadap ke
Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo sendirilah yang akhirnya
datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar berada.
Para wali dan
pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar
dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana
Maghribi ke Desa
Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran
Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di
sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Syekh
Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah
repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa meminum tirta marta (air
kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan yang hakiki jika memang ia dan
budinya menghendaki.
Tidak lama
kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika
hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang pandai,
yaitu Ki
Bisono, Ki
Donoboyo, Ki
Chantulo, dan Ki
Pringgoboyo ikut
mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang
dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Kisah pasca kematian
Terdapat kisah
yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak bunga dan cahaya memancar dari jenazahnya. Jenazah
Syekh Siti Jenar sendiri selanjutnya dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para
wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara,
dengan nama lain.
Setelah tersiar
kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya
untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir.
Kontroversi
yang lain adalah bahwa kemungkinan terbesar Syekh Siti Jenar adalah salah satu
tokoh Islam yang dengan segala kebijaksanaannya telah dapat mengadaptasi Islam
dengan keluhuran ajaran Hindu dan Budha yang menjadi pegangan Bangsa Indonesia sehingga dapat
terlihat dengan jelas bagaimana nilai daripada kehidupan dan kesejatian manusia
dengan penciptanya yang ada dalam Bhagawad Gita berpadu dengan nilai yang
diajarkan Alquran.
Hal ini tentu
saja tak berlebihan, karena dengan tingkat kerohanian dan kebijaksanaan yang
dimiliki oleh Syekh Siti Jenar, ia akan mampu melakukan penghormatan kepada
leluhur dan melestarikan nilai kebenaran yang diwariskan, menyerap agama baru
dan melakukan penyesuain nilai agar dapat diterima oleh seluruh bangsa sehingga
menjadi berkah keluhuran bagi alam semesta. Kalau para wali songo dengan pola
gerakan yang lebih kepada keduniawian berusaha mengadopsi konsep Dewata Nawa
Sanga di Hindu yang mereka personifikasikan ke dalam Wali Songo untuk mengubah
pandangan masyarakat Hindu dan membelokkan kepada Islam pun dalam penggunaan
cerita pewayangan Hindu seperti Mahabharata / Brathayudha
dan Ramayanauntuk membantu penyebaran agama Islam
dengan melakukan sisipan sisipan ke dalamnya, namun Syekh Siti Jenar
mengadaptasi nilai yang terkandung yang memang sudah ada di masyarakat Hindu
dan Budha pada jaman keemasan Nusantara sehingga nilai kombinasi yang
diperkenalkannya kepada masyarakat terbukti sangat cocok bahkan hingga saat
ini. Terbukti bahwa daerah seperti Jogjakarta adalah salah satu daerah dengan
eksistensi budaya yang sangat tinggi dan pranata sosial yang sangat beradab
sebagai hasil penerapan konsep Hindu Budha dari para leluhur Bangsa Indonesia
dengan nilai Islam sebagai budaya serapan baru.
Ki Ageng Pandan Arang
Tokoh ini berkedudukan di Pragota, yang sekarang adalah tempat bernama Bergota di kelurahan Randusari, Semarang Selatan. Dahulu Pragota berada sangat dekat dengan pantai, karena wilayah Kota Lama Semarang merupakan daratan baru yang terbentuk karena endapan dan proses pengangkatan kerak bumi. Tanah Semarang diberikan kepada Pandan Arang oleh Sultan Demak.
Asal-usul Pandan Arang tidak pasti, meskipun sebagian besar babad menyatakan bahwa ia adalah putra dari Panembahan Sabrang Lor (sultan kedua Kesultanan Demak) yang menolak tahta karena lebih suka memilih mendalami spiritualitas. Posisi sultan ketiga Demak kemudian diberikan kepada pamannya. Pendapat lain menyatakan bahwa ia adalah saudagar asing, mungkin dari Arab, Persia, atau Turki, yang meminta izin sultan Demak untuk berdagang dan menyebarkan Islam di daerah Pragota. Izin diberikan baginya di daerah sebelah barat Demak. Cerita lain bahkan menyebutkan ia adalah putra dari Brawijaya V, raja Majapahit terakhir, meskipun tidak ada bukti tertulis apa pun mengenainya.
Makamnya terletak di wilayah Kelurahan Mugassari, Semarang Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar