Sebagian
besar wilayah Kabupaten Batang merupakan perbukitan dan pegunungan. Dataran
rendah di sepanjang pantai utara tidak begitu lebar. Di bagian selatan adalah
terdapat Dataran Tinggi Dieng, dengan puncaknya
Gunung
Prau
(2.565 meter).
Ibukota
Kabupaten Batang terletak di ujung barat laut wilayah kabupaten, yakni tepat di
sebelah timur Kota Pekalongan, sehingga kedua
kota ini seolah-olah menyatu. Kabupaten Batang terletak pada 6° 51' 46"
sampai 7° 11' 47" Lintang Selatan dan antara 109° 40' 19" sampai 110°
03' 06" Bujur Timur di pantai utara Jawa Tengah . Luas daerah 78.864,16
Ha. Batas-batas wilayahnya sebelah utara Laut Jawa, sebelah timur Kabupaten
Kendal, sebelah selatan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, sebelah
barat Kota dan Kabupaten Pekalongan.
Daftar Bupati
1.
R.
Sadi Poerwopranoto, 8 April 1966 s/d 31 Mei 1967
2.
R.
Harjono Prodjodirdjo, 31 Mei 1967 s/d 10 Oktober 1972
3.
Soejitno, 10 November 1972
s/d 21 Maret 1979
4.
Soekirdjo, 21 Maret 1979
s/d 1 Januari 1988
5.
Soehoed, 26 Juli 1988 s/d
26 Juli 1993
6.
Moeslich
Effendi, SH, 26 Juli 1993 - 26 Juli 1998
7.
Djoko Poernomo, SH, MM, 22
Oktober 1998 - 7 Agustus 2001
8.
Bambang
Bintoro, SE, 11 Februari 2002 - 2011
9.
Yoyok
Riyo Sudibyo, Januari 2012 - Sekarang
Pembagian
administratif
Kabupaten
Batang terdiri atas 15 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat
pemerintahan berada di Kecamatan Batang.
Di
samping Batang, kota-kota kecamatan lainnya yang cukup signifikan adalah Tulis,
Subah, Gringsing (Plelen); ketiganya berada di jalur
pantura serta Limpung sebagai segitiga emas pertemuan bisnis
Tersono, Bawang, Bandar. Juga di selatan kota Batang ada Bandar yang saat ini
berkembang pesat yang merupakan sentra penghasil cengkih, petai dan pisang.
Pendidikan
TK
atau RA
|
||||||||
Negeri
|
6
|
472
|
58
|
8
|
2
|
0
|
0
|
|
Swasta
|
319
|
115
|
41
|
16
|
11
|
0
|
0
|
|
Total
|
325
|
587
|
99
|
24
|
13
|
0
|
0
|
|
Data sekolah di Kabupaten Batang
|
Transportasi
Batang
dilalui jalan negara jalur pantura(Jalan Daendels
1808 M) , yang menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi ). Meski
jalan negara tersebut memiliki 5 lajur, 3 di kanan dan 2 di kiri, namun saat
musim mudik lebaran terjadi
kemacetan di jalur ini. Tersedia jalur alternatif untuk menghindari kemacetan
ini, yaitu melalui Batang - Bandar - Blado - Reban - Bawang - Sukorejo -
Parakan - Temanggung - Magelang - Jogja dan Batang - Bandar - Limpung - Tersono
- Sukorejo - Weleri - Semarang.
Kabupaten
Batang juga dilintasi jalur kereta
api
lintas utara pulau Jawa (Jakarta-Surabaya). Karena kedekatannya dengan Kota
Pekalongan yang lebih besar, kebanyakan kereta api tidak berhenti di stasiun
Batang. Naik kereta api melalui wilayah Kabupaten Batang sangat menarik dan
tidak membosankan, karena rel berada tepat di tepi pantai yang memiliki
pemandangan indah.
Terminal
angkutan Bus terpenting di Kabupaten Batang adalah Terminal Banyuputih dan
Terminal Limpung yang selalu ramai disinggahi bus antar kota . Sedangkan Bus
Antar Kota-antar propinsi akan singgah untuk istirahat di banyak restaurant di
Kecamatan Gringsing .
Terminal
angkutan barang / truk ada di Banyuputih dan Timbang , sehngga Batang yang
terletak di pertengahan pulau Jawa selalu disinggahi truk-truk barang antar
pulau di Indonesia .
Perekonomian
Posisi
wilayah Kabupaten Batang berada pada jalur ekonomi pulau Jawa sebelah utara.
Arus transportasi dan mobilitas yang tinggi di jalur pantura memungkinkan
berkembangnya kawasan tersebut yang cukup prospektif di sektor jasa transit dan
transportasi.
Kondisi
wilayah Kabupaten Batang yang merupakan kombinasi antara daerah pantai, dataran
rendah dan pegunungan, menjadikan Kabupaten Batang berpotensi yang sangat besar
untuk agroindustri, agrowisata dan agribisnis.
Potensi Investasi
Terdapat
banyak industri tekstil di wilayah Kabupaten Batang, dari skala rumah tangga
sampai industri berorientasi ekspor, antara lain PT Primatex dan PT Saritex.
Wilayah Kabupaten Batang sangat strategis dari sisi ekonomi, karena dilewati
oleh jalur perdagangan nasional, jalan pantura. Wilayahnya yang memiliki garis
pantai yang terhitung panjang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pelabuhan
perikanan maupun pelabuhan kargo untuk barang-barang hasil produksi industri
setempat.
Rencana
Pemerintah Pusat untuk membangun jaringan transmisi gas bumi dari Cirebon, Jawa
Barat ke Gresik, Jawa Timur memiliki potensi tumbuhnya industri besar
disepanjang jalur pipa gas tersebut. Pasokan listrik di wilayah Batang juga
dapat diandalkan, karena dilewati oleh jaringan SUTET milik PT PLN (persero).
Di beberapa wilayah juga memiliki potensi energi hidro yang dapat dikembangkan
menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).
Wilayah
Batang yang sangat luas, dengan sejarah bencana geologi yang hampir tidak ada,
ditunjang sumber daya manusia yang melimpah akan menguntungkan bagi investor
yang hendak membangun industri di wilayah ini.
Wisata
Kabupaten
Batang memiliki wilayah yang kaya akan sumber daya alam, hutan dan laut,
sehingga sangat strategis untuk dikembangkan sebagai daerah wisata. Beberapa
objek wisata antara lain:
·
Agrowisata Salak Sodong
Terletak di Desa
Sodong Kecamatan Wonotunggal dengan jarak ± 17 km dari ibu kota Kabupaten
Batang dengan ketinggian 600 - 800 m dari permukaan laut. Desa Sodong memiliki
potensi yang dalam pembangunan yaitu Curug dan Agrowisata Salak Sodong, selain
itu juga dikenal sebagai penghasil kapulogo, panili, dan cengkeh. Salak Sodong
pada tahun 1999 pernah menjadi juara lomba buah Tingkat Jawa Tengah.
·
Curug Genting
Curug Genting
terletak di wilayah Kecamatan Blado, kurang lebih 38 km ke arah selatan dari
Kota Batang. Air terjun indah dengan ketinggian 40 m ini dikelilingi hutan
pinus. Dengan udara yang masih segar dan alam pedesaan alami menghijau, Curug
Genting sangat cocok sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan.
·
Curug Gombong
Air terjun dengan
ketinggian 13 m membelah batuan berlapis rata alami (batu rai). Terletak di
desa Gombong 6 km sebelah selatan Kecamatan Subah. Sejauh ini belum ada
investor yang mengembangkan Curug Gombong sebagai obyek wisata potensial.
·
Pantai Sigandu
Panorama menawan
pantai Kota Batang di sore hari, sementara perahu nelayan pulang bersandar
membongkar ikan hasil tangkapannya.
·
Upacara Nyadran
Di pantai tempat
bermuaranya kali Sambong yang membelah kota ini diselenggarakan upacara
selamatan pantai (nyadran) dengan arak-arakan dan lomba perahu dayung
tradisional oleh seluruh nelayan di Batang. Upacara tersebut diagendakan setiap
tahun bertepatan dengan hari raya Idul Fitri sebagai rasa syukur kepada Tuhan
YME atas rizki yang dilimpahkan kepada umatNya.
·
Pantai Ujungnegoro
Sebuah kawasan
pantai utara Batang yang terletak 14 km arah timur laut dari Kota Batang. Salah
satu bagian tepi pantainya berketinggian 14 m dari permukaan air laut, yang
jarang terdapat di sepanjang pantai utara Jawa. Pada dataran pantai yang tinggi
terdapat Gua Aswotomo dan sebuah pemakaman kecil peninggalan Syeikh Maulana
Maghribi. Di sekitar daerah ini tersedia pula tempat menarik untuk bersampan
dan memancing.
·
Pantai Pelabuhan
Terletak di Desa
Ketanggan Kecamatan Gringsing dengan jarak ± 50 km dari pusat kota Batang.
Pantai ini baik sebagai tempat untuk memancing dan terdapat sumber air tawar di
tepi pantai.
Media komunikasi antar guru
sejarah SMA di Kabupaten Batang dengan sesama guru sejarah di Indonesia tentang
sejarah, dan pendidikan sejarah. Kegiatan Guru Sejarah SMA
se Kab Batang
Sejarah Kota Batang Dan
Legenda Yang Ada Di Kota Batang
Sejarah
pemerintahan
Menurut sejarah, Batang telah memiliki
dua kali periode pemerintahan Kabupaten. Periode I diawali zaman
kebangkitan kerajaan Mataram Islam (II) sampai penjajahan asing, kira-kira dari
awal abad 17 sampai dengan 31 Desember 1935. Sedang periode II, dimulai
awal kebangkitan Orde Baru (8 April 1966) sampai sekarang, bahkan Batang dapat
ditelusuri sejak pra-sejarah. Sejak dihapuskan status Kabupaten (1 Januari
1936) sampai tanggal 8 April 1966, Batang tergabung dengan Kabupaten
Pekalongan.
Tahun 1946, mulai ada gagasan untuk
menuntut kembalinya status Kabupaten Batang. Ide pertama lahir dari Pak Mohari
yang disalurkan melalui sidang KNI Daerah dibawah pimpinan H.Ridwan alm. Sidang
bertempat di gedung bekas rumah Contrder Belanda (Komres Kepolisian 922).
Tahun 1952, terbentuk sebuah Panitia
yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Batang. Panitia ini
dinamakan Panitia Pengembalian Kabupaten Batang, yang bertugas menjalankan
amanat masyarakat Batang.
Dalam kepanitiaan ini duduk dari
kalangan badan legislatif serta pemuka masyarakat yang berpengaruh saat itu.
Susunan panitianya terdiri atas RM Mandojo Dewono (Direktur SGB Batang) sebagai
Ketua, R. Abutalkah dan R. Soedijono (anggota DPRDS Kabupaten Pekalongan)
sebagai Wakil Ketua. Panitia juga dilengkapi dengan dua anggota yaitu R.
Soenarjo (anggota DPRDS yang juga Kepala Desa Kauman) dan Rachmat (anggota
DPRDS).
Tahun 1953, Panitia menyampaikan Surat
Permohonan terbentuknya kembali status Kabupaten Batang lengkap satu berkas,
yang langsung diterima oleh Presiden Soekarno pada saat mengadakan peninjauan
daerah dan menuju ke Semarang dengan jawaban akan diperhatikan.
Tahun 1955, Panitia mengutus delegasi
ke pemerintah pusat, yang terdiri atas RM Mandojo Dewono, R.Abutalkah, dan
Sutarto (dari DPRDS).
Tahun 1957, dikirim dua delegasi lagi.
Delegasi I, terdiri atas M. Anwar Nasution (wakil ketua DPRDS), R.Abutalkah,
dan Rachmat (Ketua DPRD Peralihan). Sedangkan delegasi II dipercayakan kepada
Rachmat (Kepala Daerah Kabupaten Pekalongan), R.Abutalkah, serta M.Anwar
Nasution.
Tahun 1962, mengirimkan utusan sekali.
Utusan tersebut dipercayakan kepada M. Soenarjo (anggota DPRD Kabupaten
Pekalongan dan juga Wedana Batang) sebagai ketua, sebagai pelapor ditetapkan
Soedibjo (anggota DPRD), serta dibantu oleh anggota yaitu H. Abdullah Maksoem
dan R. Abutalkah.
Tahun 1964, dikirim empat delegasi.
Delegasi I, ketuanya dipercayakan R. Abutalkah, sedang pelapor adalah Achmad
Rochaby (anggota DPRD). Delegasi ini dilengkapi lima orang anggota DPRD
Kabupaten Pekalongan, yaitu Rachmat, R. Moechjidi, Ratam Moehardjo, Soedibjo,
dan M. Soenarjo.
Delegasi II, susunan keanggotaannya
sama dengan Delegasi I tersebut, sebelum menyampaikan tuntutan rakyat Batang
seperti pada delegasi-delegasi terdahulu, yaitu kepada Menteri Dalam Negeri di
Jakarta diawali penyampaian tuntutan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah
Propinsi Jawa Tengah di Semarang.
Delegasi III, yang juga susunan
keanggotaannya sama dengan Delegasi I dan II kembali mengambil langkah
menyampaikan tuntutan rakyat Batang langsung kepada Mendagri. Sedang Delegasi
IV mengalami perubahan susunan keanggotaan. Dalam delegasi ini sebagai ketua R.
Abutalkah, sebagai wakil ketua Rachmat, sedangkan sebagai pelapor adalah Ratam
Moehardjo, Ahmad Rochaby sebagai sekretaris I, R. Moechjidi sebagai sekretaris
II serta dilengkapi anggota yaitu Soedibjo dan M. Soenarjo.
Tahun 1965, diutus delegasi terakhir.
Sebagai ketua R. Abutalkah, wakil ketua Rachmat, sekretaris I Achmad Rochaby,
sekretaris II R. Moechjidi, pelapor Ratam Moehardjo serta dilengkapi dua orang
anggota yaitu M. Soenarjo dan Soedibjo. Delegasi terakhir atau kesepuluh itu,
memperoleh kesempatan untuk menyaksikan sidang paripurna DPR GR dalam acara
persetujuan dewan atas Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Pemerintah
Kabupaten Batang menjadi Undang-undang.
Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II
Batang terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1965, yang dimuat
dalam Lembaran Negara Nomor 52, tanggal 14 Juni 1965 dan Instruksi Menteri
Dalam Negeri RI Nomor 20 Tahun 1965, tanggal 14 Juli 1965.
Tanggal 8 April 1966, bertepatan hari
Jumat Kliwon, yaitu hari yang dianggap penuh berkah bagi masyarakat tradisional
Batang, dengan mengambil tempat di bekas Kanjengan Batang lama (rumah dinas
yang sekaligus kantor para Bupati Batang lama) dilaksanakan peresmian
pembentukan Daerah Tingkat II Batang.
Upacara yang berlangsung khidmat dari
jam 08.00 s/d 11.00 itu, ditandai antara lain dengan Pernyataan Pembentukan
Kabupaten Batang oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi Jawa Tengah Brigjend
(Tit) KKO-AL Mochtar, pelantikan R. Sadi Poerwopranoto sebagai Pejabat Bupati
Kepala Daerah Batang, serah terima wewenang wilayah dari Bupati KDH Pekalongan
kepada Pejabat Bupati KDH Batang, serta sambutan dari Gubernur Kepala Daerah
Jawa Tengah.
SEJARAH
KOTA BATANG
Kota
Batang, menurut legenda yang beredar di masyarakat, Batang berasal dari dua
kata bahasa Jawa, 'ngembat' yang artinya mengangkat/mengambil dan 'watang' yang
artinya batang kayu. Perihal mengangkat batang kayu ini erat kaitannya dengan
perjuangan tentara Mataram melawan tentara Kompeni di Batavia.
Konon pada waktu kerajaan Mataram sedang mengusahakan kecukupan pangan (beras) untuk prajurit-prajurit yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia untuk melawan kompeni, Bahurekso (tokoh panglima kerajaan Mataram) ditugaskan untuk membuka areal persawahan dengan menebang pohon-pohon di Hutan (jawa: alas) Roban.
Hambatan sangat banyak, banyak pekerja yang mati dalam membuka Hutan Roban karena diganggu oleh pengikut alam kegelapan berupa siluman-siluman yang dipimpin oleh Dadungawuk. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, Dadungawuk dapat dikalahkan. Dadungawuk dan pengikutnya tidak akan mengganggu Bahurekso dan anak buahnya dengan persyaratan bahwa mereka dibagi hasil panen dari tanah tersebut.
Setelah pekerjaan membuka areal persawahan di Alas Roban selesai, tugas selanjutnya adalah mengusahakan perairan untuk areal sawah tersebut. Untuk ini, Bahurekso membuat bendungan untuk menampung air dari Kali Kramat. Bendungan yang telah selesai dibuat ini pun diusik oleh raja siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Mengetahui pekerjaannya diganggu oleh siluman, Bahurekso pun turun tangan dan menyerang seluruh anak buah raja Uling yang bermarkas di kedung Kali Kramat (catatan: kedung adalah bagian dari sungai yang tanahnya turun ke bawah, sehingga lebih dalam dari sungainya). Korban berjatuhan di pihak raja Uling, darah menyembur sampai menyebabkan air kedung menjadi merah tua (Jawa: abang gowok). Oleh karena itu, kedung tersebut dinamai sebagai Kedung Sigowok.
Konon pada waktu kerajaan Mataram sedang mengusahakan kecukupan pangan (beras) untuk prajurit-prajurit yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia untuk melawan kompeni, Bahurekso (tokoh panglima kerajaan Mataram) ditugaskan untuk membuka areal persawahan dengan menebang pohon-pohon di Hutan (jawa: alas) Roban.
Hambatan sangat banyak, banyak pekerja yang mati dalam membuka Hutan Roban karena diganggu oleh pengikut alam kegelapan berupa siluman-siluman yang dipimpin oleh Dadungawuk. Namun, berkat kesaktian Bahurekso, Dadungawuk dapat dikalahkan. Dadungawuk dan pengikutnya tidak akan mengganggu Bahurekso dan anak buahnya dengan persyaratan bahwa mereka dibagi hasil panen dari tanah tersebut.
Setelah pekerjaan membuka areal persawahan di Alas Roban selesai, tugas selanjutnya adalah mengusahakan perairan untuk areal sawah tersebut. Untuk ini, Bahurekso membuat bendungan untuk menampung air dari Kali Kramat. Bendungan yang telah selesai dibuat ini pun diusik oleh raja siluman Uling yang bernama Kolo Dribikso. Mengetahui pekerjaannya diganggu oleh siluman, Bahurekso pun turun tangan dan menyerang seluruh anak buah raja Uling yang bermarkas di kedung Kali Kramat (catatan: kedung adalah bagian dari sungai yang tanahnya turun ke bawah, sehingga lebih dalam dari sungainya). Korban berjatuhan di pihak raja Uling, darah menyembur sampai menyebabkan air kedung menjadi merah tua (Jawa: abang gowok). Oleh karena itu, kedung tersebut dinamai sebagai Kedung Sigowok.
Raja Uling marah melihat anak buahnya
dikalahkan dan membalas dengan menyerang Bahurekso menggunakan pedang sakti
Swedang. Karena kesaktian pedang itu, Bahurekso dapat dikalahkan. Atas nasehat
ayahanda dari Bahurekso, siasat pun dijalankan untuk mengalahkan raja Uling.
Bahurekso merayu adik raja Uling yang bernama Dribusowati untuk mendapatkan
pedang sakti Swedang. Rayuan berhasil dan Dribusowati setuju untuk mengambilkan
pedang sakti kakaknya itu untuk diserahkan kepada Bahurekso. Dengan pedang
sakti itu, dengan mudah raja Uling dikalahkan. Dengan demikian, tidak ada lagi
siluman yang merusak bendungan tersebut.
Satu masalah lagi yang harus dipecahkan agar bendungan itu dapat mengalirkan air ke areal persawahan karena nampaknya, air bendungan tidak mengalir lancar untuk melakukan tugasnya. Ternyata, ditemukan satu batang kayu (Jawa: watang) yang melintang menghalangi aliran air. Berpuluh-puluh orang berusaha mengangkat batang kayu tersebut namun tidak berhasil. Bahurekso pun menggunakan kesaktiannya untuk mengangkat/mengambil (Jawa: ngembat) batang kayu (Jawa: watang) tersebut dengan sekali angkat.
Demikianlah kisah asal muasal kota Batang. Dialek setempat menyebut Batang sebagai Mbatang.
Adapula
Versi Lain Yang Menceritakan Tentang Legenda Kota Batang
Pada jaman dahulu kala di sebuah desa Kalisalak hiduplah
seorang gadis cantik jelita yang bernama Dewi Rantan sari anak dari Mbok Rondo,
karena kecantikannya tersebut maka Sultan Mataram yang bernama Sultan Agung
Hanyokrokusumo jatuh cinta kepada Dewi Rantan Sari. Ia menyuruh Bhahurekso yang
biasa dikenal bernama Joko Bau anak dari Ki Agung Cempalek dari Kesesi untuk
melamar Dewi Rantan Sari.
Sesampainya di kediaman Rantan sari, Bhahurekso terpesona
dan jatuh cinta kepada Dewi Rantan sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan
Sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari jatuh cinta pada Bhahurekso.
Akhirnya Bhahurekso melamarnya untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan Sultan
Mataram yang mengutusnya, dalam perjalanan pulang menuju Mataram dia terus
berfikir bagaimana caranya bicara denagan Sultan Mataram atas peristiwa
tersebut. Tidak lama dalam perjalanan tersebut Bhahurekso bertemu dengan gadis
cantik lainnya yang juga yang wajahnya mirip dan secantik Rantan Sari di desa
Kalibeluk anak seorang penjual serabi yang bernama Endang Wiranti, segera
setelah muncul sebuah rencana di benak Bhahurekso, ia berencana membawa Endang
Wiranti ke Mataram untuk diperkenalkan kepada Sultan Mataram sebagai Rantan
Sari.
Akhirnya diputuskan Bhahurekso meminta Endang Wiranti
menyamar menjadi Rantan Sari dan Endang menyetujui rencana tersebut, sesampai
di kota Mataram Endang dipertemukan dengan Sultan, tidak lama Endang Wiranti
jatuh pingsan, sultan menjadi curiga atas kejadian tersebut, setelah siuman
dari pingsannya Sultan bertanya kepada Rantan Sari gadungan, Endang Wiranti
menjadi sangat ketakutan dan akhirnya berterus terang mengatakan yang
sesungguhnya bahwa sebenarnya dia ini bukan Rantan Sari yang dimaksudkan
Sultan, tetapi adalah Endang Wiranti anak seorang penjual serabi dari desa
Kalibeluk dia mengakui segala rencana yang disusun Bhahurekso untuk menipu
Sultan Mataram karena Bhahurekso terlanjur jatuh cinta dan menikahi dewi Rantan
sari gadis cantik yang hendak dipersunting Sultan Mataram.
Karena keterusterangan Endang Wiranti ini, Sultan sangat
menghargai kejujuran Endang Wiranti dengan menghadiahkan sejumlah uang yang
cukup banyak untuk modal meneruskan berjualan serabi dan diantarkan pulang ke
Kalibeluk, Endang mohon pamit pulang dan mohon dimaafkan atas kejadian
tersebut.
Sebagai hukuman atas kejadian kebohongan tersebut Sultan
menghukum Bhahurekso dengan tugas berat berupa membuka hutan lebat yang sangat
berbahaya karena banyak dihuni jin dan setan dengan menebang pohon-pohon besar
dan berperang melawan jin penghuni alas roban. Karena Bhahurekso bersalah dan
menerima hukuman itu dan langsung sesampainya disana Bhahurekso menebang semua
pohon besar yang ada di alas Roban.
Sebenarnya pohon-pohon besar itu adalah jelmaan para
siluman yang dipimpin oleh seorang siluman raksasa yang mempunyai anak yang
sangat cantik bernama Dubrikso wati, sebagai tanda menyerah atas kemenangan
Bhahurekso yang sangat sakti itu raja siluman memberi hadiah berupa putrinya
untuk dinikahi Bhahurekso. Bhahurekso menyetujui dan menikahi Dubrikso Wati dan
memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Banteng.
Akibat dari penebangan pohon-pohon
hutan yang besar-besar tersebut, bau, maka banyak bangkai-bangkai siluman
berupa batang-batang (istilah Jawa) yang terapung di sungai, setelah hujan
besar, sejak saat itu maka tempat tersebut disebut BATANG yang sekarang
disebut Kota Batang.
LEGENDA THR KRAMAT
Kramat merupakan salah satu tempat rekreasi di Kabupaten
Batang yang cukup dikenal, berlokasi di Kecamatan Batang tepatnya di Kelurahan
Proyonanggan Selatan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Pada hari-hari libur
dan setiap hari Jum’at Kliwon, tempat tersebut dipadati para pengunjung baik
domestik maupun daerah lain.
Bagi golongan tua yang meyakini suatu kepercayaan
tertentu memiliki arti tersendiri yang melalatar belakangi kehadirannya ke tempat tersebut, sedangkan para
generasi muda pada umumnya hanya bermotif hiburan belaka.
Menurut para tetua (sesepuh) adat Batang, mengatakan
bahwa tempat tersebut dinamakan Kramat karena di sana terdapat banyak
petilasan, baik berbentuk bekas pemujaan nenek moyang pada jaman bahari, tempat
istirahat seorang tokoh/panutan, tempat memberi wejangan pesalatan dan bahkan
beberapa makam tokoh lengkap ada di seputar Kramat tersebut.
Oleh para anggota masyarakat tradisional, tempat-tempat
seperti itu dianggap kramat, sehingga pantas apabila tempat di seputar sugai
Lojahan yang juga dikenal sebagai sungai Kramat, Sambong atau Klidang itu yang
memanjang dari Utara ke Selatan dan berbatasan dengan desa Kecepak dan
Pasekaran itu disebut Kramat.
Dari hal-hal tersebutlah, mungkin yang menjadikan Bupati
pertama Kanjeng Raden Adipati Batang ( R. Prawiro ) berkenan memberikan nama
lokasi itu dengan nama “Kramat”.
Lebih lanjut para tetua (sesepuh) adat Batang
mengemukakan secara kronologis, mengapa daerah tersebut disebut Kramat, menurut
mereka, dahulu disekitar bendungan Kendungdowo (lama) terdapat sebuah batu yang
terkenal oleh masyarakat setempat sebagai “watu angkrik “ dan sampai sekarang
peninggalan lain yang bisa dilihat yaitu ‘Watu Ambon”. Kedua batu tersebut
diduga dahulu digunakan oleh nenek moyang kita jaman pra sejarah sebagai tempat
pemujaan arwah leluhur.
Pada perkembangan agama Islam pertama di Pulau Jawa,
kawasan tersebut diyakini pernah dilalui Sunan Kalijaga semasa beliau
menjalankan tugas dari Sunan Bonang untuk berdakwah di lingkungan Pulau Jawa
bagian Barat, begitu pula dahulu Sunan Kalijaga saat berguru di Bumi Cirebon
singgah di daerah yang kelak dinamakan Kramat.
Dikemukakan pula oleh para tetua (sesepuh) adat
Batang bahwa dua orang dari negeri Arab, yaitu seorang yang bergelar Syekh dan
Sayid, dengan tekun mengembnagkan syiar Islam di wilayah Kramat dan sekitarnya,
keduanya wafat dan dikebumikan di makam di desa Pasekaran. Bahkan oleh para
tetua (sesepuh ) adat Batang tersebut meyakini pula bahwa seorang ulama besar
dahulu pernah menjalankan syiar Islam di seputar kawasan Kramat tersebut.
Kini di sekitar lokasi Kramat, sudah ditunjang dengan
sarana peningkatan jalan, ada bendungan baru dan pembenahan lokasi, taman
hiburan dengan pembangunan fisik serta jenis-jenis hiburan yang dipergelarkan
sehingga merubah tradisi tersebut.
LEGENDA KRAMAT KAITANNYA DENGAN
BHAHUREKSO
Kaitan legenda Kramat dengan Bhahurekso (pejabat tinggi
pada pemerintahan Sultan Agung) dari Mataram 1613 – 1645 M), amat erat dan
mendalam sekali, dikemukakan oleh sesepuh adat, di sekitar wilayah Kedunggowok
(sebelelah Utara Kedung Dowo) disanalah pernah terjadi peristiwa penting, yaitu
awal terjadinya Kabupaten Batang.
Pada waktu itu ajang perjuangan dimaksud, terjadi
menjelang masa Sultan Agung (1613 M), yaitu saat Bhahurekso membantu Menteri
Pamajengan Sasak Layangsari membasmi perampok pimpinan Drubekso yang mengaku
“raja” di wilayah kekuasaannya. Kedua kekuatan tersebut berbenturan, namun
jalannya alot dan seimbang sehingga oleh Bhahurekso diibaratkan bagai “ambet –
ambetan watang” (mengambat galah). Dari asal ibarat ini, lahir nama Batang dan
dipatrikan secara abadi sebagai nama kota serta kabupaten.
Untuk mengenang dan menghayati para pejuang dan perintis
Batang tersebut, Bupati pertama Pangeran Adipati Mandurejo, mengadakan tradisi
ziarah ke lokasi bekas ajang perjuangan di sekitar Keramat tersebut. Yang
diikuti serta dilestarikan masyarakat setempat sampai sekarang.
LEGENDA UJUNG NEGORO
Salah satu desa di kawasan Pantai Jawa. Lingkup wilayah
Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, bernama “Ujung Negoro”. Nama desa yang khas
ini, menggelitik bagi para peminat, pemeran dan sejarawan, guna mengetahui
latar belakang sejarahnya.
Menurut keluarga R. Soenarjo, Ujung Negoro yang merupakan
salah satu kawasan pemukiman dan pemerintahan ditingkat desa, mempunyai kaitan
erat dengan perkembnagan Kabupaten Batang di Batang ini.
Di Pantai yang sekarang dikenal termasuk desa Ujung
Negoro ini, dahulu di abad 17 yaitu masa awal berdirinya Kabupaten Batang, oleh
sumber itu dituturkan, menjadi tempat berlabuhnya jung-jung atau perahu-perahu
dari negeri Cina. Dan bermula bermangkalnya “Jung-jung saka Cina” dalam bahasa
daerah yang berasal dari Negeri Cina. Akhirnya tempat tersebut disebut Ujung
Negoro.
Bermangkalnya perahu-perahu besar dari Cina itu menurut
sumber yang sama, tidak lain milik para perampokpimpinan Baurekso. Yang mengaku
berkuasa di seputar kali “Lojahan” (Sambong – Kramat ) penguasa lokal tidak mau
mengakui yang dipertuan Mataram Islam itu.
Menurut Bapak R. Soedibjo Giri Soerjaham Logo, dalam
majalah “Gema Pembangunan” Edisi khusus babad Pekalongan, terbitan Pemda
Pekalongan, Nomor 27 Pekalongan 10 Juli 1975, disebut “Sang Tunjang Mlaya”
(Teratai putih yang melayang-layang) atau “sang Raja Uling kanting”.
Sedangkan menurut penuturan sementara penduduk, Drubekso
yang mengakui “Penguasa” itu, disebut Uling, sebab ia dan kawan-kawannya
ternyata tangguh dan ulet dalam upaya mempertahankan kawasan yang tidak sah
itu. Sementara pendapat yang lain “Uling” tidak lain berasal dari bahasa Cina yaitu
“Heling”.
Menurut keluarga R. Soenarjo, lebih lanjut menuturkan
bahwa daerah kekuasaan “Heling” (Uling) atau Drubikso memanjang pantai Jawa,
dan kawasan Gambiran (Pekalongan) sampai Alas Roban (Timur Batang), dari hilir
sungai “Lojahan” dengan benteng rahasianya (Sademan dan secara
sembunyi-sembunyi, sekarang menjadi nama kampung “Sademan” desa Klidang Lor.
Terus meliputi daerah-daerah sekitar : Sambong, Kedung Cina, Kedung Ringin (di
Kecamatan Batang) Jung Biru dan seputar wilayah gunung Tugel (Kecamatan
Wonotunggal) kekuasaan Drubikso.
Kekuasaan Drubikso beakhir, akhirnya Drubikso bisa
dikalahkan oleh jaka Bau (Bhaurekso) dengan dibantu oleh pasukan Mataram,
Subah, Gringsing dan kawan-kawan seperjuangan yang lain. Sehingga akhirnya
perahu-perahu dari daratan Cina tersebut, kini hanya tinggal kenangan sejarah,
tidak mengakui lagi Ujung Negoro seperti apa yang terjadi pada jaman dahulu.
ASAL MULA DESA KLIDANG
Dalam pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, menyuruh
Raden Bhahu untuk menebang hutan. Guna dijadikan pemukiman. Antara Subah sampai
Pekalongan.
Pada saat melaksankan tugasnya untuk menebang hutan,
Raden Bhahu (Bhahurekso) berjalan menyusuri sungai, sampai suatu saat beliau
tertidur di pinggir sungai karena kelelahan. Pada keesokan harinya air sungai
tiba-tiba pasang, beliaupun terbangun dan segera bangun ke tempat yang lebih
tingi. Tetapi setelah sampai di dataran yang lebih tinggi, beliau terkejut
ketika akan melanjutkan tugasnya untuk menebang hutan, ketika itu pedang yang
biasa dibawanya itu hilang. Kemudian beliau mencarinya di pinggir sungai yang
waktu itu untuk beristirahat.
Sehari, berhari-hari dan berminggu-minggu sampai hampir
satu bulan Raden Bahu mencari pedangnya, tapi pencarian itu sama sekali tidak
membuahkan hasil yang diharapkan. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan
pencariannya, karena masih banyak tugas yang menanti di pundaknya, sebelum
Raden Bahu pergi, beliau memberi nama daerah di sekitar sungai itu dengan
sebutan KLIDANG yang berasal dari sebutan kata ( Kali ) dalam bahasa Indonesia
yang artinya sungai dan ( Pedang ). Daerah ini berada di sebelah Utara di
Kabupaten Batang.
LEGENDA DUKUH ROWOSUKO
(Dukuh Rowosuko, Desa Rowobelang, Kec. Batang, Kab.
Batang)
Pada jaman dahulu, dukuh Rowosuko adalah sebuah tempat
yang belum dihuni oleh manusia dan ditumbuhi rerumputan liar serta pohon-pohon
besar.
Konon Dukuh Rowosuko ditemukan oleh Eyang Surgi(Hasan
Surgi Jati Kusumo). Eyang Surgi adalah seorang Kyai yang
berkelana dan menemukan tempat itu. Eyang Surgi membersihkan rerumputan liar
dan menebang sebagian pohon untuk dijadikan rumah atau tempat peristirahatan.
Kegiatan sehari-hari eyang Surgi adalah bercocok tanam, mengubah lahan yang
ditumbuhi rumput liar menjadi kebun dan sawah.
Selang beberapa lama tersiar kabar bahwa ada seorang Kyai
yang menghuni dusun kecil yang makmur. Kemudian orang-orang berdatanag untuk
mencari ilmu dan meminta perlindungan kepada Eyang Surgi. Orang-orang pendatang
membuat rumah dan menjadikan lahan-lahan kosong untuk bercocok tanam. Eyang
Surgi dijadikan sebagai pemuka di dusun itu. Orang-orang patuh dan taat pada
ajaran Eyang Surgi. Namun, dusun kecil itu belum diberi nama, yang kemudian
oleh Eyang Surgi diberi nama Rowosuko.
Konon diberi nama Rowosuko itu karena di sawah milik
Eyang Surgi terdapat pohoh besar yang bernama pohon Soko. Pada suatu hari ada
hujan dan badai sehingga menumbangkan pohon Soko tersebut. Pohon Soko itu
tumbang ke sawah milik eyang Surgi. Karena pohon Soko yang sangat besar itu
tidak ada seorangpun yang mampu mengambil batang kayunya.
Lambat laun batang kayu soko itu lapuk di sawah milik
Eyang Surgi. Kemudian daerah itu diberi nama Rowosoko, dari kata Rowo yang
berarti sawah dan soko yang berarti pohon soko. Karena perkembangan jamankata
Rowosoko diucapkan Rowosuko. Dan pohon Soko itu telah punah. Karena jumlah
pohon Soko yang sedikit, kemudian di tebang untuk dijadikan rumah dan kayu
bakar. Sehingga pada saat ini tidak ditemukan pohon soko di daerah Rowosuko.
Dusun Rowosuko adalah dusun kecil sehingga menyatu dengan
dusun Krengseng dan Rowobelang membentuk satu desa. Karena kelurahannya ada di
Rowobelang sehingga di sebut desa Rowobelang.
Bukti adanya Eyang Surgi sebagai penemu dukuh Rowo Suko
adalah makam Eyang Surgi yang berada di pemakaman dukuh Rowosuko yang terletak
di Rowosuko Kulon.
Menurut adat setempat setiap bulan Dzulkaidah atau
legeno, warga desa mengadakan sedekah bumi dan harus diiringi dengan tontonan
wayang kulit. Menurut kepercayaan masyarakat, tontonan wayang kulit tersebut
untuk menghormati arah Eyang Surgi. Adat istiadat tersebut telah dilakukan
turun temurun, hingga saat ini adat istiadat tersebut masih dilkukan oleh warga
setempat.
Lambang Daerah Kabupaten Batang
Lambang yang digunakan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Batang adalah lukisan yang berbentuk dasar perisai yang
berukuran 4 : 5, yang melambangkan tekad rakyat Batang untuk mempertahankan
daerahnya, baik dalam arti sempit maupun daerah dalam pengertian sebagai
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. BINTANG BERSUDUT LIMA berwarna emas,
melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. PADI DAN KAPAS , melambangkan harapan
rakyat akan terpenuhinya kemakmuran (murah sandang, murah pangan).
3. GUNUNG, PABRIK, BATIK DAN LAUT,
mengandung rangkaian pengertian bahwa Batang mempunyai daerah pegunungan yang
penuh dengan kekayaan alam, dataran rendah yang kaya perusahaan-perusahaan dan
laut yang sepanjang masa menghasilkan ikan.
4. PUSAKA : KERIS, suatu pusaka yang
melambangkan tokok pimpinan.
5. TOMBAK, pusaka yang biasa menjadi
pegangan prajurit / rakyat.
6. GABUNGAN ANTARA KERIS DAN TOMBAK,
melambangkan kesatuan antara yang memimpin dan yang dipimpin.
7. PABRIK, menjelaskan bahwa di Batang
terdapat banyak perusahaan. Dari perusahaan makanan rakyat, perusahaan sandang
sampai dengan perusahaan yang menghasilkan bahan-bahan ekspor, antara lain
tapioka, karet, coklat, teh, kapuk, dan lain-lain.
8. BATIK SOGAN, menunjukkan bahwa seni
batik ini merupakan seni kerajinan rakyat yang mendarah daging turun temurun
sekaligus melambangkan bahwa rakyat Batang memelihara kebudayaan bangsa /
daerah yang berkepribadian.
9. IKAN, menjelaskan bahwa Batang
mempunyai laut dan tambak-tambak yang sepanjang masa menghasilkan ikan. Bukan
hanya untuk daerah setempat, tetapi bahkan dapat memenuhi pasar-pasar ikan di
daerah lain.
10. PITA berwarna kuning emas yang terletak
di bawah, melambangkan benang emas yang mengikat semua ciri kepribadian serta
budi dan daya rakyat seperti terdapat dalam lambang tersebut di atas.
Pengertian Tentang Jumlah
Bagian-bagiannya
1. Butir padi berjumlah 17 (tujuh belas)
bersama bunga kapas berjumlah 8 (delapan) di dalam perisai berukuran 4 : 5
mengandung pengertian tentang kesetiaan rakyat akan semangat 17 Agustus 1945.
2. Pita yang berbentuk angka 8 (delapan),
atap pabrik yang berpuncak 4 (empat) dan gelombang laut yang 6 (enam) di atas
dan 6 (enam) di bawah menerangkan tentang hari kembalinya Batang menjadi Daerah
Kabupaten lagi pada tanggal 8 April 1966 setelah 30 tahun bergabung dengan
Pekalongan.
3. Ikan yang berjumlah 2 (dua) ekor dan
terletak berhadapan mengandung arti bahwa di Batang selalu ada dua kekuatan
yang saling embat-embatan / musyawarah, nampaknya agak bertentangan satu sama
lain, tetapi sebenarnya adalah saling mengisi.
4.
Pengertian
Tentang Warna
1. MERAH,
mengandung pengertian bahagia, berani karena benar dan dinamis. Merah sebagai
dasar tulisan Batang menandakan bahwa rakyat di seluruh Kabupaten Batang itu
pada dasarnya berbahagia atas kembalinya Batang menjadi Kabupaten lagi.
2. KUNINGpada dasar lambang menunjukkan pribadi
yang periang, hati yang terbuka yang dengan terus terang menginginkan tegaknya
kebenaran dan keadilan.
3. KUNING EMAS pada bintang melambangkan bahwa pokok
tersebut (Tuhan Yang Maha Esa) merupakan zat yang diagungkan oleh setiap insan
di Kabupaten Batang.
4. HITAMpada
keris berarti keadilan. Bahwa kepemimpinan yang menjadi idaman rakyat yaitu
yang dapat membawa rakyat dari setiap penderitaan ke arah kebahagiaan.
5. PUTIH yang berbentuk tombak
melambangkan ketulusan hati rakyat yang membina kehidupan daerah.
6. BIRUpada
laut melambangkan keagungan yang dirangkapi dengan wibawa.
7. COKLATpada batik (Sidomukti) sogan, yang
menyamai coklatnya tanah yang basah melambangkan hubungan batin yang mutlak
kuat antara rakyat Batang dengan tanah tumpah darahnya. Motif Sidomukti
melambangkan agar kembalinya Kabupaten Batang dapat mengangkat taraf hidup
rakyat.
8. ABU-ABU pada ikan melambangkan elastisitas
dari pendirian masyarakat Batang.
HIJAUpada gunung dan tangkai kapas
melambangkan bahwa pada dasarnya daerah Batang itu adalah daerah yang makmur,
yang m